Menciptakan Lingkungan Berintegritas untuk Anak di Era Kekinian sebagai Bentuk Pelibatan Keluarga pada Satuan Masyarakat

 

Taman Bermain di Lingkungan Tempat Tinggalku – Foto : Dokumentasi Pribadi

“Ikut, Mas. Ikuuut.”

Teriakan anak-anak kecil di lingkungan rumahku membuat decitan rem dan ban sepedaku berbunyi. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Setiap sore selama liburan kuliah, aku memang sering menghabiskan waktu untuk menikmati sore di lingkungan perumahan. Merasa terganggu? Tentu saja tidak. Bagiku, jalan-jalan sambil menikmati sore hari adalah sesuatu yang jarang dilakukan anak-anak sekarang. Jadi, aku ingin mereka merasakannya juga.

Sambil menengok ke arah belakang aku katakan pada mereka.

“Yaudah, ayo buruan sini. Tapi satu aja yaaa. Kalau semuanya ikut nggak bisa.”

Mereka pun saling berebutan untuk bisa ikut. Berbagai alasan diutarakan untuk meyakinkanku bahwa dialah yang paling berhak untuk ikut.

Sambil mengayuh sepeda merah jambu berkeranjang milik mamaku, aku jadi berpikir tentang pendidikan seperti apa yang paling tepat untuk anak yang kuboncengkan ini (termasuk teman-teman seusianya). Hal yang menjadi permasalahan mungkin bukan lagi keterbatasan informasi yang bisa mereka dapatkan. Permasalahannya adalah bagaimana orang dewasa sebagai penyelenggara pendidikan–khususnya untuk anak-anak–mampu memberikan akses informasi secara tepat dan baik kepada anak-anak.

Aku tak pernah menyesal mengajak anak-anak untuk ikut bersamaku menikmati suasana sore. Mengajak main anak-anak di lingkungan tempat tinggalku adalah salah satu cara agar mereka dapat terhindar dari pengaruh besar teknologi bernama gawai. Mungkin kita sudah tahu bagaimana dampak hebat yang diberikan oleh gawai kepada anak-anak kecil. Berbagai alasan pun diberikan sebagai pembenaran atas pemberian gawai kepada anak-anak. Ah, hidup semudah itu, kah?

Tak hanya memboncengkan saja, aku selalu mengajak anak yang kuboncengkan untuk mengobrol, bertanya buku yang disukai, pelajaran yang menjadi favorit, membaca bersama tulisan-tulisan yang terlihat di pinggir jalan, bahkan anak tersebut kujadikan objek penelitian kecil-kecilan terkait kemampuan piranti bahasa yang telah ia miliki di usianya saat itu.

“Itu bacanya apa, Pin?”

Apin menggeleng. Bukan tidak bisa, dia tidak mau membaca tulisan yang tertera di tembok yang berfungsi ganda sebagai pagar itu. Kantor Desa Waluya.

Ketika melewati kantor desa, aku berpikir lagi bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan, butuh adanya sistem atau suatu gerakan terpusat yang harus diinisiasi pemerintah. Masyarakat Indonesia agaknya lebih berpikir sebagai objek kebijakan pemerintah dibandingkan menjadi subjek kebijakannya. Maksud dari sistem di sini adalah sistem yang mengatur masyarakat secara umum dan keluarga secara khusus untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Adapun maksud dari gerakan di sini adalah kegiatan yang dilakukan sebagai upaya dalam penyelenggaraan pendidikan. Tidak perlu jauh-jauh, sudahkah keluarga kita melakukan hal ini? Aku tak yakin kamu akan menjawab ‘sudah’.

“Pegangan baju mas Allam yaaaa.” Kayuhanku lebih cepat dari sebelumnya.

Aku tidak berpikir bahwa pemerintah hanya berdiam diri saja. Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah menetapkan peraturan Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan. Pelibatan ‘keluarga’ yang dimaksud adalah suatu proses/cara keluarga untuk berperan dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai Pendidikan Nasional. Adapun Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saat membacanya, aku benar-benar terkesan dengan apa yang menjadi inti bahasan dari kebijakan ini. Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan setidaknya mendukung penyelenggaraan pendidikan pada 3 elemen, yaitu Satuan Pendidikan, Satuan Keluarga, dan Satuan Masyarakat. Ketiga elemen tadi juga disebut sebagai Tri Sentra Pendidikan.

Saat hari sudah semakin sore, aku terkejut ketika mendapati sebuah fasilitas tempat bermain yang dikhususkan untuk anak-anak.

“Apin, Apin udah pernah main di sini?”

“Udah dong sama Mamah.”

“Enak yaaaa. Sekarang udah ada tempat mainnya. Heheheh. Ada perosotan, ada ayunan, ada jungkat-jungkit, ada mainan puteran juga.”

Memang seperti inilah lingkungan yang seharusnya dibuat. Memfasilitasi anak-anak untuk leluasa bermain. Bagi anak-anak, bermain adalah proses belajar. Fasilitas yang diberikan ini merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menciptakan suasana lingkungan yang mendukung proses belajar anak. Bisa dibayangkan jika tidak ada fasilitas bermain, anak-anak kecil mungkin akan sibuk dengan gawai milik orang tua mereka. Tentu saja hal ini merupakan salah satu upaya keluarga dalam pelibatannya pada penyelenggaraan pendidikan. Mengapa demikian? Karena masyarakat itu sendiri merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga yang ada di lingkungan tersebut.

Bagiku, tentu saja ini adalah salah satu hal yang patut diapresiasi. Di Yogyakarta, tempatku berkuliah, tidak aneh jika melihat suatu desa ataupun dusun menginisiasi sebuah gerakan literasi dengan membuat perpustakaan desa atau taman baca. Misalnya saja yang dilakukan oleh komunitas Rumah Dongeng Mentari dengan menyediakan buku-buku bacaan bagi anak-anak di daerah Condongcatur, Sleman, Yogyakarta. Bahkan ada seorang purnawirawan yang mengubah sebuah becak menjadi perpustakaan berjalan. Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar memang sangat tepat.

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat harus mulai sadar dalam menciptakan suasana yang baik untuk anak-anak mereka. Dalam menciptakan suasana yang baik, masing-masing keluarga yang ada pada suatu lingkungan masyarakat tertentu harus saling bekerja sama. Seperti halnya dengan apa yang dilakukan oleh ibu-ibu di kampung Pucangsari, Magelang. Berbekal permasalahan atas keresahan mereka terhadap penggunaan gawai yang dilakukan oleh anak-anak, khususnya anak-anak dilingkungan tersebut, ibu-ibu berinisiatif untuk bekerja sama dalam membuat sebuah tempat bacaan. Tempat bacaan ini dibuat agar aktivitas anak-anak tersalurkan pada kegiatan yang positif. Oleh karena itu, terbentuklah sebuah ‘Kampung Baca’ di daerah mereka sebagai ruang literasi untuk anak-anak mereka. Berita selengkapnya bisa dilihat pada tautan berikut ini.

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592.

Aku pun mulai berkhayal, andai saja terdapat sebuah perpustakaan yang dapat digunakan oleh anak-anak di lingkungan sekitarku.Namun, jangankan perpustakaan desa, perpustakaan kabupaten yang dikelola pemerintah pun tak seperti perpustakaan yang sering kukunjungi di Jogja. Dari buku yang berantakan hingga nomor buku yang tidak sesuai.

“Mungkin memang aku yang harus membuat perpustakaan di daerah tempat tinggalku.”

“Apa mas Allam? Ngomong apa? Apin nggak denger.”

“Loh? Bukan kok Pin, bukan. Heheheh.”

Oh iya, ada satu lagi yang aku ingat. Tidak jauh dari Komunitas Rumah Dongeng Mentari, terdapat sebuah kampung ramah anak di daerah yang sama, yaitu Condongcatur. Masyarakat di kampung Leles, Condongcatur membuat berbagai perarturan seperti melarang penggunaan kendaraan bermotor setiap sore hari karena lingkungan mereka khusus digunakan sebagai area bermain anak-anak, membatasi penggunaan gawai sebelum berusia 18 tahun, menyediakan area bermain yang dilengkapi dengan permainan dan perpustakaan, dan mulai pukul 19.00 sampai pukul 21.00, orang tua tidak diperkenankan menggunakan gawai dan wajib menemani anak-anak mereka. Peraturan-peraturan yang dibuat ini memang bertujuan agar hak-hak anak terpenuhi dengan baik.

Kunci dalam menerapkan upaya-upaya tersebut adalah keinginan dan kekompakkan setiap keluarga untuk memberikan fasilitas terbaik dalam pertumbuhan anak-anak. Jika tercipta lingkungan masyarakat yang baik, positif, dan bermanfaat, maka dampak yang diberikan kepada anak-anak juga akan demikian.

“Pin, udah mau adzan maghrib. Kita Pulang yaaa.”

“Ayo mas. Nanti kita ke masjid bareng yaaa.”

Taman Bermain Dilihat dari Berbagai Sisi

#sahabatkeluarga