Sumber : instagram.com/keluargabijak/

Bagian 1

Dalam mencapai visinya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Indonesia dihadapi dengan berbagai permasalahan yang rumit. Selain menghambat pencapaian visi Indonesia, permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut sudah pasti mengganggu kelangsungan jalannya pemerintahan. Salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia di setiap tahunnya adalah korupsi. Menurut sebuah organisasi internasional yang berfokus untuk melawan korupsi bernama Transparency, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2015 adalah 36 dan menempati peringkat 88 dari 168 negara, sedangkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2016 adalah 37 dan menempati peringkat 90 dari 176 negara. Data ini menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Bahkan pada tahun 2017, peringkat Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi kembali turun peringkat menjadi peringkat ke-92 dari 180 negara (transparency.com). Hal ini membuat Indonesia semakin jauh sebagai negara yang bersih dari korupsi.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam memberantas korupsi, khususnya melalui lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberikan wewenang untuk memberantas permasalahan yang terus meningkat ini dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam isi undang-undang tersebut, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan KPK untuk memberantas tindak pidana korupsi, yaitu pendindakan dan pencegahan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan korupsi. Meskipun demikian, penetapan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak tahun 2002 tampaknya tidak membuat tindak pidana korupsi berkurang. Korupsi masih terus terjadi, penindakan sering ditemui, dan pencegahan seolah tidak berarti. Orang-orang yang dulu bersumpah suci kini mendekam dibalik jeruji. Untuk bisa menyelesaikan serta mencegah permasalahan ini sampai akarnya, membangun generasi yang berkarakter sebagai pencegahan jangka panjang lebih baik ketimbang harus terus menerus menindak pelaku korupsi. Membangun dan menciptakan karakter anak-anak bangsa menjadi pribadi yang lebih baik adalah salah satu cara pencegahan korupsi sejak dini.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan peraturan menteri Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan. Pemerintah menganggap bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran yang sangat sentral dan strategis dalam membangun dan menciptakan karakter anak yang bermartabat. Hal ini tentu sesuai dengan visi Indonesia yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pelibatan keluarga yang dilakukan ini harus bersinergi dengan tiga elemen yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu Tri Sentra Pendidikan yang terdiri dari Satuan Pendidikan, Keluarga, dan Masyarakat.

Dalam penerapannya, pelibatan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan bisa digunakan sebagai sarana menanamkan sikap dan nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak. Metode, cara, serta bentuk kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Permasalahan yang mungkin banyak dihadapi keluarga saat ini adalah memilih dan menentukan hal tersebut. Hal ini dikarenakan dunia informasi dan komunikasi yang berkembang pesat membuat nilai-nilai budaya lokal bercampur atau bahkan tergantikan dengan nilai-nilai budaya yang dibawa dari negara lain. Anggapan-anggapan baru yang keliru pun bermunculan, seperti anggapan bahwa budaya lokal terlalu jadul dan tradisional untuk dilakukan dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Padahal jika pahami lebih dalam, nilai-nilai budaya lokal merupakan identitas suatu bangsa. Kekeliruan masyarakat dalam menanggapi hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan informasi yang menjelaskan manfaat dari nilai-nilai budaya lokal itu sendiri.

Tentang Korupsi

Korupsi berasal dari kata berbahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok (Komisi Pemberantasan Kaorupsi). Adapun menurut lembaga antikorupsi internasional Transparency, korupsi didefinisikan sebagai the abuse of entrusted power for private gain ‘penyalahgunaan kekuasaan dipercayakan untuk keuntungan pribadi’. Menurut Transparency, korupsi dapat diklasifikasikan menjadi korupsi besar, korupsi kecil, atau korupsi politik, dan korupsi ini tergantung pada jumlah uang yang hilang dan di sektor mana korupsi terjadi (transparency.com).

Dari definisi tersebut, korupsi bisa disimpulkan sebagai sebuah tindakan yang merugikan. Jika dilihat dari perspektif hukum Indonesia, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan merumuskan korupsi ke dalam tiga puluh jenis tindak pidana korupsi (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2006). Berdasarkan undang-undang tersebut, korupsi didefinisikan sebagai setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Konsep Pelibatan Keluarga

Pelibatan keluarga yang dimaksud dalam konteks ini adalah pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan tersebut, pelibatan keluarga diartikan sebagai proses dan/atau cara keluarga untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai tujuan Pendidikan Nasional. Adapun Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan setidaknya mendukung penyelenggaraan pendidikan pada 3 elemen, yaitu Satuan Pendidikan di mana anak-anak mereka mengenyam pendidikan, Keluarga itu sendiri, dan Masyarakat di mana suatu keluarga tinggal. Ketiga elemen ini disebut juga sebagai Tri Sentra Pendidikan yang telah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara.

Berkaitan dengan pemberantasan dan pencegahan tindak korupsi, nilai-nilai antikorupsi bisa ditanamkan keluarga kepada anak-anak mereka dalam penerapannya pada Tri Sentra Pendidikan melalui berbagai strategi, gerakan, maupun aktivitas yang kegiatannya disesuaikan berdasarkan elemennya. Dengan penanaman nilai-nilai antikorupsi pada penerapan pelibatan keluarga ini, tujuan yang bisa dicapai tidak hanya tujuan dari Pendidikan Nasional sebagai tujuan akhir dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan, tetapi juga tujuan dari Indonesia yang bebas dari tindak pidana korupsi melalui pencegahan sejak dini.

Tentang Nilai-Nilai Antikorupsi

Dalam buku “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas” terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nilai-nilai antikorupsi disebut juga sebagai nilai-nilai integritas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, integritas memiliki arti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Kata integritas sendiri memiliki padanan kata ‘kejujuran’.

Lebih jauh lagi, nilai-nilai integritas yang dimaksud KPK merupakan padanan positif untuk antikorupsi (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012). Kata antikorupsi secara spesifik mengarah pada sikap yang melawan atau menentang tindakan korupsi. Anak-anak tentu belum memahami secara utuh maksud dari antikorupsi. Oleh karena itu, nilai-nilai antikorupsi ini disebut juga sebagai nilai-nilai integritas atau nilai-nilai kejujuran yang lebih mudah dipahami oleh anak.

Tentang Kearifan Lokal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, kearifan berarti ‘kebijaksanaan’, sedangkan lokal berarti ‘di suatu tempat’ atau ‘setempat’. Kebijaksaan yang dimaksud adalah kebijaksanaan manusia terhadap nilai-nilai atau gagasan-gagasan yang dianutnya. Adapun jika dihubungkan dengan kata lokal akan bermakna kebijaksanaan manusia terhadap nilai-nilai atau gagasan-gagasan setempat di mana manusia tersebut hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kearifan lokal dijelaskan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Dalam kaitannya dengan pelibatan keluarga dalam penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak, nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas tersebut bisa disesuaikan dan diklasifikasikan sesuai dengan kearifan lokal di suatu tempat. Penyesuaian yang dimaksud sama sekali tidak mengurangi konsep nilai-nilai antikorupsi yang ada dan juga tidak mengurangi konsep kearifan lokal di suatu tempat.

 

Bagian 2

Nilai-Nilai Antikorupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan sebuah buku berjudul “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas”. Seperti judulnya, buku ini merupakan buku panduan untuk penggunaan buku berjudul “Tunas Integritas” yang telah diterbitkan sebelumnya. Buku “Tunas Integritas” sendiri merupakan buku dongeng yang memuat nilai-nilai antikorupsi untuk anak-anak usia dini. Menurut Abraham Samad dalam pengantar buku (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012), diterbitkannya buku-buku ini merupakan salah satu upaya KPK melakukan pencegahan tindak pidana korupsi dalam menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 13 c yang berbunyi “Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.”

Dalam buku “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas”, nilai-nilai antikorupsi disebut juga sebagai nilai-nilai integritas. Nilai-nilai integritas yang dimaksud tersebut merupakan padanan positif untuk antikorupsi. Kata antikorupsi secara spesifik mengarah pada sikap yang melawan atau menentang tindakan korupsi. Anak-anak tentu belum memahami secara utuh maksud dari antikorupsi. Oleh karena itu, nilai-nilai antikorupsi ini disebut juga sebagai nilai-nilai integritas atau nilai-nilai kejujuran yang lebih mudah dipahami oleh anak.

Adapun nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas yang digagas oleh KPK dalam buku “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas” dan buku “Tunas Integritas” terdiri dari sembilan 9 (sembilan) nilai. Sembilan nilai tersebut adalah Jujur, Peduli, Mandiri, Disiplin, Tanggung Jawab, Kerja Keras, Sederhana, Berani, Adil (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012).

Gambar 1 Nilai-Nilai Integritas Dalam Bentuk Diagram

Kesembilan nilai integritas yang digagas KPK ini sebenarnya sering dijumpai di berbagai aktivitas kehidupan, baik dalam lingkup kecil keluarga maupun lingkup yang lebih besar, yaitu masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat harus mulai untuk mengenali, memahami, serta menanamkan nilai-nilai integritas pada anak-anak mereka. Pemahaman keluarga terhadap nilai-nilai integritas ini nantinya akan membantu keluarga dalam mengonkretkan kesembilan nilai yang masih abstrak menjadi sesuatu yang mudah dipahami untuk anak-anak. Pada dasarnya, KPK meyakini bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi telah kehilangan satu atau lebih nilai-nilai integritas (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012). Bisa jadi, penyebab dari hilangnya nilai-nilai tersebut karena nilai-nilai integritas yang dimiliki belum melekat pada akar jiwanya. Belum melekatnya nilai-nilai integritas pada akar jiwanya juga bisa disebabkan karena tidak adanya penanaman dan pembiasaan nilai-nilai tersebut sejak kecil. Oleh karena itu, keluarga diharapkan mampu untuk menanamkan serta membiasakan nilai-nilai integritas pada anak sejak dini.

Pelibatan Keluarga pada Tri Sentra Pendidikan Sebagai Sarana Penanaman Nilai-Nilai Antikorupsi Berbasis Kearifan Lokal

Setelah mengetahui, mengenali, dan memahami nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas, hal yang selanjutnya bisa dilakukan keluarga adalah menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak-anak. Pertanyaannya adalah di mana saja keluarga bisa menanamkan nilai-nilai integritas? dan hal-hal apa saja yang bisa dilakukan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai integritas tersebut?

Sebagaimana yang sudah dinyatakan pada bagian sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan. Dengan diterbitkannya peraturan ini, keluarga diharapkan untuk ikut terlibat pada penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan setidaknya mendukung penyelenggaraan pendidikan pada 3 elemen, yaitu Satuan Pendidikan di mana anak-anak mereka mengenyam pendidikan, Keluarga itu sendiri, dan Masyarakat di mana suatu keluarga tinggal.

Gambar 2 Tri Sentra Pendidikan

Dalam penerapannya, metode, cara, ataupun bentuk penanaman nilai-nilai integritas bisa disesuaikan berdasarkan ketiga elemen yang ada pada Tri Sentra Pendidikan, yaitu satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Hal lain yang perlu diingat dan diperhatikan adalah metode, cara, ataupun bentuk penanaman nilai-nilai integritasnya berbasis pada kearifan lokal. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan sebagai sarana penanaman nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas berbasis kearifan lokal akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

 

Pada Satuan Pendidikan

Satuan Pendidikan merupakan kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan kesetaraan (Kemdikbud, 2017). Artinya, apabila keluarga memiliki anak yang bersekolah di jenjang Taman Kanak-Kanak (TK), maka TK tersebut merupakan satuan pendidikannya. Begitu juga pada jenjang pendidikan lainnya.

Pada satuan pendidikan, keluarga tidak bisa terlibat secara langsung dalam penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak. Dalam hal ini, pihak sekolah memiliki tugas yang paling besar dibandingkan keluarga. Meskipun demikian, bukan berarti keluarga tidak memiliki peran. Keluarga tetap harus terlibat setidaknya pada kegiatan-kegiatan seperti menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan sekolah, menjadi anggota komite sekolah, mengikuti rapat wali kelas, ikut hadir dalam pementasan akhir tahun sebagai dukungan kepada sang anak. Selain itu, keluarga juga harus mengetahui aktivitas apa saja yang dilakukan oleh sang anak selama di sekolah. Tentu hal ini bukan untuk mengusik pilihan anak dalam berkegiatan, tetapi untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan sang anak di sekolah adalah kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat.

Pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan harus memahami dengan baik maksud dari tujuan penanaman nilai-nilai antikorupsi berbasis kearifan lokal. Jika sekolah hanya menerapkan sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai kurikuler, penanaman nilai-nilai antikorupsi akan sulit dilakukan karena ruang lingkupnya terbatas. Penanaman nilai-nilai antikorupsi ini bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang sifatnya ekstrakurikuler. Sebagian besar sekolah di Indonesia mungkin telah memiliki kegiatan ekstrakurikuler, permasalahannya adalah apakah setiap kegiatan ekstrakurikuler tersebut telah dipersiapkan dan dilaksanakan dengan baik?

Jika sekolah memikirkan dan mempersiapkan dengan baik, upaya-upaya berikut bisa dilakukan sekolah dalam menanamkan kesembilan nilai-nilai antikorupsi pada anak. Pertama, pada ranah kurikuler, sekolah melalui guru bisa menyisipkan nilai-nilai antikorupsi pada pelajaran sejarah. Sebagai contoh, guru bisa menceritakan perjuangan para pahlawan, khususnya pahlawan yang ada di daerah mereka dengan menekankan satu atau beberapa nilai-nilai antikorupsi yang dimiliki oleh pahlawan tersebut. Contoh lainnya, kegiatan bercerita atau mendongeng bisa dilakukan secara rutin sebagai mata pelajaran khusus pada jenjang pendidikan dari PAUD sampai Sekolah Dasar. Berbagai penelitian tentang dongeng sudah sangat banyak dilakukan dan memiliki dampak dan hasil yang sangat positif. Salah satu penelitian yang berkaitan dengan dongeng pernah dilakukan oleh Nurinten, Mulyani, Alhamuddin, dan Permatasari dalam penelitian yang berjudul “Kearifan Lokal Sebagai Media Pendidikan Karakter Antikorupsi pada Anak Usia Dini Melalui Strategi Dongkrak (Dongeng jeung Kaulinan Barudak)”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang strategi pendidikan karakter antikorupsi pada anak usia dini pada sekolah melalui dongeng-dongeng berbasis kearifan lokal Sunda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa strategi yang digunakan memiliki hasil yang baik dalam pemahaman nilai-nilai karakter oleh anak usia dini (Nurinten dkk., 2016). Oleh karena itu, kegiatan mendongeng atau bercerita ini merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak.

Kedua, pada ranah ekstrakurikuler, penanaman nilai-nilai antikorupsi bisa dilakukan melalui pemberdayaan keterampilan di berbagai bidang seperti pengetahuan budaya, kuliner, musik, permainan tradisional, dan bidang lainnya. Sebagai contoh, sekolah bisa mengadakan sebuah kegiatan ekstrakurikuler yang berfokus pada keterampilan tata boga untuk mengembangkan serta melestarikan kuliner daerah. Dari kegiatan ini, nilai-nilai antikorupsi seperti peduli terhadap warisan kuliner daerah, sikap kerja keras dalam memasak dan menyajikan kuliner daerah, dan sikap adil ketika membagikan hasil masakan mereka kepada orang-orang sekitar bisa ditanamkan kepada anak-anak. Contoh lainnya adalah dengan bermain permainan tradisional ketika jeda istirahat atau pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Dari permarmainan tradsional ini, nilai-nilai antikorupsi seperti jujur kepada teman-teman karena tidak bermain curang dan berani saat mengambil keputusan pada keadaan-keadaan tertentu saat melakukan permainan.

Kegiatan ataupun aktivitas yang dilakukan tersebut tentunya disesuaikan dengan kearifan lokal di mana sekolah itu berada. Para guru yang mendampingi mereka pun harus memahami dengan baik esensi dari penanaman nilai-nilai antikorupsi berbasis kearifan lokal agar mudah dalam penerapannya. Dengan demikian, nilai-nilai antikorupsi bisa selalu hadir di setiap suasana kegiatan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Pada Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil yang ada di dalam masyarakat. Setidaknya, sebuah keluarga terdiri dari suami, istri dan anaknya. Keluarga dianggap memiliki peran strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan (Kemdikbud, 2017). Oleh karena itu, segala hal yang diberikan keluarga pada anak-anak mereka sangat berpengaruh terhadap kehidupan sang anak di masa mendatang. Dalam penyelenggaraan pendidikan pada elemen keluarga, penanaman kesembilan nilai-nilai antikorupsi bisa dilakukan melalui upaya-upaya berikut ini.

Pertama, dukung proses belajar anak dengan mengurangi atau bahkan sama sekali membatasi anak untuk bermain gawai. Dukungan proses belajar yang dimaksud adalah dengan menciptakan suasana belajar untuk anak. Meskipun arti belajar bagi anak-anak adalah bermain, keluarga harus memberikan fasilitas bermain yang dapat mengedukasi anak untuk bisa mengembangkan potensi sang anak. Bangun kedekatan antara keluarga dengan anak. Jangan sampai kedekatan antara keduanya terhalangi oleh penggunaan gawai. Kedekataan antara keluarga dengan anak-anak adalah langkah awal untuk bisa menanamkan nilai-nilai antikorupsi dengan baik. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pembacaan buku sejak dini pada anak.

Kedua, aktivitas mendongeng atau bercerita adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan kesembilan nilai-nilai antikorupsi. Dongeng merupakan media pendidikan yang mengajarkan sesuatu tanpa menggurui (Mentari, 2017). Artinya, keluarga bisa menyisipkan salah satu atau lebih nilai-nilai antikorupsi melalui cerita yang didongengkan tanpa khawatir sang anak merasa digurui. Cerita-cerita yang didongengkan pun bisa menggunakan cerita daerah setempat sebagai wujud dari upaya kegiatan berbasis kearifan lokal. Upaya-upaya lainnya yang bisa diajarkan kepada anak sebagai bentuk penanaman nilai-nilai antikorupsi adalah mengajarkan anak untuk berbagi kepada sesama sebagai bentuk penanaman sikap peduli, mengajarkan anak untuk membersihkan dan merapikan kamar sendiri sebagai bentuk sikap mandiri, membiasakan anak untuk selalu bangun pagi sebagai bentuk sikap disiplin, dan berbagai aktivitas lainnya.

Ketiga¸ keluarga dapat memfasilitasi anak untuk bisa mengembangkan potensi diri. Sebagai contoh, anak-anak yang sering aktif bergerak difasilitasi untuk mempelajari tari-tari tradisional maupun kontemporer, dan anak-anak yang memiliki keahlian di bidang seni musik bisa diarahkan untuk mempelajari alat musik tradisional seperti angklung ataupun gamelan, dan di berbagai bidang lainnya. Pada akhirnya, anak-anak bisa mendapatkan nilai-nilai antikorupsi dari apa yang ditanamkan melalui kegiatan pengembangan potensi tersebut.

Kunci dari keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak adalah ikut terlibat.

Pada Masyarakat

Dalam menerapkan pelibatan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan sebagai sarana penanaman nilai-nilai antikorupsi pada lingkungan masyarkat, keluarga sebagai bagian dari masyarakat harus memberikan dan menciptakan suasana yang baik, positif, dan bermanfaat di lingkungan masyarakat mereka sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut, harus ada kerja sama di antara masing-masing keluarga sebagai bagian dari masyarakat, perlu ada kekompakan.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan keluarga di lingkungan masyarakat adalah sebagai berikut. Pertama, memberikan ruang bermain untuk anak-anak. Kedua, memberikan ruang literasi untuk anak-anak. Ketiga, menciptakan ruang masyarakat yang ramah untuk anak-anak. Upaya-upaya dalam menciptakan lingkungan yang baik ini bukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Dalam menciptakan ruang bermain untuk anak, Kampung Main Cipulir yang berada di daerah Jakarta Selatan bisa dijadikan sebagai contoh. Di sana, anak anak dapat melakukan kegiatan seperti membatik, membuat produk kerajinan dari tanah liat, menangkap ikan, bercocok tanam, outbound, flying fox dan kegiatan lainnya (kontan.co.id). Tentu saja setiap aktivitasnya dilakukan dengan konsep sambil bermain.

Dalam menciptakan ruang literasi untuk anak, ‘Kampung Baca’ yang terletak di kampung Pucangsari, Magelang bisa dijadikan sebagai contoh. Berangkat dari keresahan terhadap penggunaan gawai oleh anak-anak yang semakin meningkat, para ibu-ibu berinisiatif untuk membuat sebuah tempat bacaan agar aktivitas anak-anak mereka bisa lebih bermanfaat serta mendorong minat baca di lingkungan mereka. Berita terkait bisa dilihat pada tautan berikut ini.

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592.

Oleh karena itu, terbentuklah kampung baca di daerah mereka sebagai ruang literasi untuk anak-anak mereka.

Selanjutnya dalam menciptakan ruang masyarakat yang ramah untuk anak-anak, Kampung Ramah Anak yang ada di kampung Leles, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta bisa dijadikan sebagai contoh. Masyarakat di kampung Leles membuat berbagai perarturan seperti melarang penggunaan kendaraan bermotor setiap sore hari karena lingkungan mereka khusus digunakan sebagai area bermain anak-anak, membatasi penggunaan gawai sebelum berusia 18 tahun, menyediakan area bermain yang dilengkapi dengan permainan dan perpustakaan, dan mulai pukul 19.00 sampai pukul 21.00, orang tua tidak diperkenankan menggunakan gawai dan wajib menemani anak-anak mereka (kompas.com).

Kunci dalam menerapkan upaya-upaya tersebut adalah keinginan dan kekompakkan setiap keluarga untuk memberikan fasilitas terbaik dalam pertumbuhan anak-anak. Jika tercipta lingkungan masyarakat yang baik, positif, dan bermanfaat, maka dampak yang diberikan kepada anak-anak juga akan demikian. Sebagai bentuk kegiatan yang berbasis kearifan lokal, kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan nilai-nilai kehidupan setempat.

Pelibatan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan sebagai sarana penanaman nilai-nilai antikorupsi berbasis kearifan lokal merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak pidana korupsi sedini mungkin. Nilai-nilai antikorupsi yang ditanamkan adalah nilai-nilai yang digagas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari sembilan nilai, yaitu Jujur, Peduli, Mandiri, Disiplin, Tanggung Jawab, Kerja Keras, Sederhana, Berani, dan Adil. Kesembilan nilai tersebut disebut juga sebagai nilai-nilai integritas.

Dalam penerapannya, keluarga dapat melakukan upaya-upaya pada 3 elemen yang terdapat pada Tri Sentra Pendidikan yang terdiri dari Satuan Pendidikan, Keluarga, dan Masyarakat. Dengan adanya sinergisitas antara pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan dan penanaman nilai-nilai antikorupsi, mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa akan lebih mudah diwujudkan.

 #sahabatkeluarga

REFERENSI

Gallets, Matthew P. 2005. Storytelling and Story Reading: A Comparison of Effects on Children. Tesis. Tennessee, School of Graduate Studies, East Tennessee State University. USA.

Hamilton, Marta dan Weiss, Mitch. 2005. Excerpt from Children Tell Stories: Teaching and Using Storytelling in the Classroom. Richard C. Owen Publisher. Katonah, New York.

Isbell, Rebecca dkk. 2004. “The Effects of Storytelling and Story Reading on the Oral Language Complexity and Story Comprehension of Young Children”. Dalam Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 3, hlm. 157-163.

Kaunang, Iva R.B., Kaghoo, Max Sudirno, dkk.. 2012. Menemukenali Kearifan Lokal dalam Kaitannya dengan Watak dan Karakter Bangsa di Minahasa Utara. Kepel Press. Yogyakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemdikbud RI. Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2017. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Kemdikbud RI. Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Tanpa Tahun. Pahami Dulu Baru Lawan: Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi. KPK. Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. KPK. Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2012. Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas. KPK. Jakarta.

Miller, Sara dan Pennycuff, Lisa. 2008. “The Power of Story: Using Storytelling to Improve Literacy Learning”. Dalam Journal of Cross-Disciplinary Perspectives in Education, Vol. 1, No. 1, hlm. 36-43.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Nurinten, Dinar., Mulyani, Dewi., dkk. 2016. “Kearifan Lokal Sebagai Media Pendidikan Karakter Antikorupsi pada Anak Usia Dini Melalui Strategi Dongkrak”. Dalam Integritas, Vol. 2, No. 1, hlm. 135-154.

Salam, Aprinus dan Sembodo, Thomas J P (editor). 2011. Menerapkan Kearifan Lokal dalam Pembangunan Berkelanjutan: Kumpulan Naskah Annual Essay Competition Terbaik 2010. Sub Direktorat PPKB UGM. Yogyakarta.

Tim Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. 2013. Kearifan Lokal. BPNB DIY. Yogyakarta.

Sumber Internet:

Kompas. Selamat Datang di Kampung Ramah Anak Wajib Senyum dan Tak Boleh sering HP. Diakses pada laman regional.kompas.com/read/2018/07/24/09352451/selamat-datang-di-kampung-ramah-anak-wajib-senyum-dan-tak-boleh-sering-main?page=all.

Kontan. Bermain Sambil Belajar di Kampung Tengah Kota. Diakses pada laman peluangusaha.kontan.co.id/news/
bermain-sambil-belajar-di-kampung-tengah-kota
.

Marlupi, Anna Sri. 2011. Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal. Diakses pada laman pangudiluhur.org
/berita/pendidikan-berbasis-kearifan-lokal-oleh-anna-sri
-marlupi-s-s.104.html
.

Mentari, Rona. 2017. Aksi Dongeng Dari Timur. Diakses pada laman youtube.com/watch?v=HpaIf2v1CeI.

Sahabat Keluarga Kemdikbud. Kampung Baca Inisiatif Para Ibu Dorong Minat Baca. Diakses pada laman https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592.

Transparency. Corruption Perceptions Index 2016. Diakses pada laman transparency.org/news/feature/corruption
perceptions_index_2016
.

Transparency. Corruption Perceptions Index 2017. Diakses pada laman transparency.org/news/feature/corruption
perceptions_index_2017
.