Author: allam.herlambang

Menciptakan Lingkungan Berintegritas untuk Anak di Era Kekinian sebagai Bentuk Pelibatan Keluarga pada Satuan Masyarakat

Menciptakan Lingkungan Berintegritas untuk Anak di Era Kekinian sebagai Bentuk Pelibatan Keluarga pada Satuan Masyarakat

 

Taman Bermain di Lingkungan Tempat Tinggalku – Foto : Dokumentasi Pribadi

“Ikut, Mas. Ikuuut.”

Teriakan anak-anak kecil di lingkungan rumahku membuat decitan rem dan ban sepedaku berbunyi. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Setiap sore selama liburan kuliah, aku memang sering menghabiskan waktu untuk menikmati sore di lingkungan perumahan. Merasa terganggu? Tentu saja tidak. Bagiku, jalan-jalan sambil menikmati sore hari adalah sesuatu yang jarang dilakukan anak-anak sekarang. Jadi, aku ingin mereka merasakannya juga.

Sambil menengok ke arah belakang aku katakan pada mereka.

“Yaudah, ayo buruan sini. Tapi satu aja yaaa. Kalau semuanya ikut nggak bisa.”

Mereka pun saling berebutan untuk bisa ikut. Berbagai alasan diutarakan untuk meyakinkanku bahwa dialah yang paling berhak untuk ikut.

Sambil mengayuh sepeda merah jambu berkeranjang milik mamaku, aku jadi berpikir tentang pendidikan seperti apa yang paling tepat untuk anak yang kuboncengkan ini (termasuk teman-teman seusianya). Hal yang menjadi permasalahan mungkin bukan lagi keterbatasan informasi yang bisa mereka dapatkan. Permasalahannya adalah bagaimana orang dewasa sebagai penyelenggara pendidikan–khususnya untuk anak-anak–mampu memberikan akses informasi secara tepat dan baik kepada anak-anak.

Aku tak pernah menyesal mengajak anak-anak untuk ikut bersamaku menikmati suasana sore. Mengajak main anak-anak di lingkungan tempat tinggalku adalah salah satu cara agar mereka dapat terhindar dari pengaruh besar teknologi bernama gawai. Mungkin kita sudah tahu bagaimana dampak hebat yang diberikan oleh gawai kepada anak-anak kecil. Berbagai alasan pun diberikan sebagai pembenaran atas pemberian gawai kepada anak-anak. Ah, hidup semudah itu, kah?

Tak hanya memboncengkan saja, aku selalu mengajak anak yang kuboncengkan untuk mengobrol, bertanya buku yang disukai, pelajaran yang menjadi favorit, membaca bersama tulisan-tulisan yang terlihat di pinggir jalan, bahkan anak tersebut kujadikan objek penelitian kecil-kecilan terkait kemampuan piranti bahasa yang telah ia miliki di usianya saat itu.

“Itu bacanya apa, Pin?”

Apin menggeleng. Bukan tidak bisa, dia tidak mau membaca tulisan yang tertera di tembok yang berfungsi ganda sebagai pagar itu. Kantor Desa Waluya.

Ketika melewati kantor desa, aku berpikir lagi bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan, butuh adanya sistem atau suatu gerakan terpusat yang harus diinisiasi pemerintah. Masyarakat Indonesia agaknya lebih berpikir sebagai objek kebijakan pemerintah dibandingkan menjadi subjek kebijakannya. Maksud dari sistem di sini adalah sistem yang mengatur masyarakat secara umum dan keluarga secara khusus untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Adapun maksud dari gerakan di sini adalah kegiatan yang dilakukan sebagai upaya dalam penyelenggaraan pendidikan. Tidak perlu jauh-jauh, sudahkah keluarga kita melakukan hal ini? Aku tak yakin kamu akan menjawab ‘sudah’.

“Pegangan baju mas Allam yaaaa.” Kayuhanku lebih cepat dari sebelumnya.

Aku tidak berpikir bahwa pemerintah hanya berdiam diri saja. Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah menetapkan peraturan Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan. Pelibatan ‘keluarga’ yang dimaksud adalah suatu proses/cara keluarga untuk berperan dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai Pendidikan Nasional. Adapun Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saat membacanya, aku benar-benar terkesan dengan apa yang menjadi inti bahasan dari kebijakan ini. Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan setidaknya mendukung penyelenggaraan pendidikan pada 3 elemen, yaitu Satuan Pendidikan, Satuan Keluarga, dan Satuan Masyarakat. Ketiga elemen tadi juga disebut sebagai Tri Sentra Pendidikan.

Saat hari sudah semakin sore, aku terkejut ketika mendapati sebuah fasilitas tempat bermain yang dikhususkan untuk anak-anak.

“Apin, Apin udah pernah main di sini?”

“Udah dong sama Mamah.”

“Enak yaaaa. Sekarang udah ada tempat mainnya. Heheheh. Ada perosotan, ada ayunan, ada jungkat-jungkit, ada mainan puteran juga.”

Memang seperti inilah lingkungan yang seharusnya dibuat. Memfasilitasi anak-anak untuk leluasa bermain. Bagi anak-anak, bermain adalah proses belajar. Fasilitas yang diberikan ini merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menciptakan suasana lingkungan yang mendukung proses belajar anak. Bisa dibayangkan jika tidak ada fasilitas bermain, anak-anak kecil mungkin akan sibuk dengan gawai milik orang tua mereka. Tentu saja hal ini merupakan salah satu upaya keluarga dalam pelibatannya pada penyelenggaraan pendidikan. Mengapa demikian? Karena masyarakat itu sendiri merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga yang ada di lingkungan tersebut.

Bagiku, tentu saja ini adalah salah satu hal yang patut diapresiasi. Di Yogyakarta, tempatku berkuliah, tidak aneh jika melihat suatu desa ataupun dusun menginisiasi sebuah gerakan literasi dengan membuat perpustakaan desa atau taman baca. Misalnya saja yang dilakukan oleh komunitas Rumah Dongeng Mentari dengan menyediakan buku-buku bacaan bagi anak-anak di daerah Condongcatur, Sleman, Yogyakarta. Bahkan ada seorang purnawirawan yang mengubah sebuah becak menjadi perpustakaan berjalan. Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar memang sangat tepat.

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat harus mulai sadar dalam menciptakan suasana yang baik untuk anak-anak mereka. Dalam menciptakan suasana yang baik, masing-masing keluarga yang ada pada suatu lingkungan masyarakat tertentu harus saling bekerja sama. Seperti halnya dengan apa yang dilakukan oleh ibu-ibu di kampung Pucangsari, Magelang. Berbekal permasalahan atas keresahan mereka terhadap penggunaan gawai yang dilakukan oleh anak-anak, khususnya anak-anak dilingkungan tersebut, ibu-ibu berinisiatif untuk bekerja sama dalam membuat sebuah tempat bacaan. Tempat bacaan ini dibuat agar aktivitas anak-anak tersalurkan pada kegiatan yang positif. Oleh karena itu, terbentuklah sebuah ‘Kampung Baca’ di daerah mereka sebagai ruang literasi untuk anak-anak mereka. Berita selengkapnya bisa dilihat pada tautan berikut ini.

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592.

Aku pun mulai berkhayal, andai saja terdapat sebuah perpustakaan yang dapat digunakan oleh anak-anak di lingkungan sekitarku.Namun, jangankan perpustakaan desa, perpustakaan kabupaten yang dikelola pemerintah pun tak seperti perpustakaan yang sering kukunjungi di Jogja. Dari buku yang berantakan hingga nomor buku yang tidak sesuai.

“Mungkin memang aku yang harus membuat perpustakaan di daerah tempat tinggalku.”

“Apa mas Allam? Ngomong apa? Apin nggak denger.”

“Loh? Bukan kok Pin, bukan. Heheheh.”

Oh iya, ada satu lagi yang aku ingat. Tidak jauh dari Komunitas Rumah Dongeng Mentari, terdapat sebuah kampung ramah anak di daerah yang sama, yaitu Condongcatur. Masyarakat di kampung Leles, Condongcatur membuat berbagai perarturan seperti melarang penggunaan kendaraan bermotor setiap sore hari karena lingkungan mereka khusus digunakan sebagai area bermain anak-anak, membatasi penggunaan gawai sebelum berusia 18 tahun, menyediakan area bermain yang dilengkapi dengan permainan dan perpustakaan, dan mulai pukul 19.00 sampai pukul 21.00, orang tua tidak diperkenankan menggunakan gawai dan wajib menemani anak-anak mereka. Peraturan-peraturan yang dibuat ini memang bertujuan agar hak-hak anak terpenuhi dengan baik.

Kunci dalam menerapkan upaya-upaya tersebut adalah keinginan dan kekompakkan setiap keluarga untuk memberikan fasilitas terbaik dalam pertumbuhan anak-anak. Jika tercipta lingkungan masyarakat yang baik, positif, dan bermanfaat, maka dampak yang diberikan kepada anak-anak juga akan demikian.

“Pin, udah mau adzan maghrib. Kita Pulang yaaa.”

“Ayo mas. Nanti kita ke masjid bareng yaaa.”

Taman Bermain Dilihat dari Berbagai Sisi

#sahabatkeluarga

Pelibatan Keluarga pada Tri Sentra Pendidikan Sebagai Sarana Penanaman Nilai-Nilai Antikorupsi Berbasis Kearifan Lokal di Era Kekinian

Sumber : instagram.com/keluargabijak/

Bagian 1

Dalam mencapai visinya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Indonesia dihadapi dengan berbagai permasalahan yang rumit. Selain menghambat pencapaian visi Indonesia, permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut sudah pasti mengganggu kelangsungan jalannya pemerintahan. Salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia di setiap tahunnya adalah korupsi. Menurut sebuah organisasi internasional yang berfokus untuk melawan korupsi bernama Transparency, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2015 adalah 36 dan menempati peringkat 88 dari 168 negara, sedangkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2016 adalah 37 dan menempati peringkat 90 dari 176 negara. Data ini menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Bahkan pada tahun 2017, peringkat Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi kembali turun peringkat menjadi peringkat ke-92 dari 180 negara (transparency.com). Hal ini membuat Indonesia semakin jauh sebagai negara yang bersih dari korupsi.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam memberantas korupsi, khususnya melalui lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberikan wewenang untuk memberantas permasalahan yang terus meningkat ini dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam isi undang-undang tersebut, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan KPK untuk memberantas tindak pidana korupsi, yaitu pendindakan dan pencegahan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan korupsi. Meskipun demikian, penetapan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak tahun 2002 tampaknya tidak membuat tindak pidana korupsi berkurang. Korupsi masih terus terjadi, penindakan sering ditemui, dan pencegahan seolah tidak berarti. Orang-orang yang dulu bersumpah suci kini mendekam dibalik jeruji. Untuk bisa menyelesaikan serta mencegah permasalahan ini sampai akarnya, membangun generasi yang berkarakter sebagai pencegahan jangka panjang lebih baik ketimbang harus terus menerus menindak pelaku korupsi. Membangun dan menciptakan karakter anak-anak bangsa menjadi pribadi yang lebih baik adalah salah satu cara pencegahan korupsi sejak dini.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan peraturan menteri Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan. Pemerintah menganggap bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran yang sangat sentral dan strategis dalam membangun dan menciptakan karakter anak yang bermartabat. Hal ini tentu sesuai dengan visi Indonesia yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pelibatan keluarga yang dilakukan ini harus bersinergi dengan tiga elemen yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu Tri Sentra Pendidikan yang terdiri dari Satuan Pendidikan, Keluarga, dan Masyarakat.

Dalam penerapannya, pelibatan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan bisa digunakan sebagai sarana menanamkan sikap dan nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak. Metode, cara, serta bentuk kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Permasalahan yang mungkin banyak dihadapi keluarga saat ini adalah memilih dan menentukan hal tersebut. Hal ini dikarenakan dunia informasi dan komunikasi yang berkembang pesat membuat nilai-nilai budaya lokal bercampur atau bahkan tergantikan dengan nilai-nilai budaya yang dibawa dari negara lain. Anggapan-anggapan baru yang keliru pun bermunculan, seperti anggapan bahwa budaya lokal terlalu jadul dan tradisional untuk dilakukan dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Padahal jika pahami lebih dalam, nilai-nilai budaya lokal merupakan identitas suatu bangsa. Kekeliruan masyarakat dalam menanggapi hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan informasi yang menjelaskan manfaat dari nilai-nilai budaya lokal itu sendiri.

Tentang Korupsi

Korupsi berasal dari kata berbahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok (Komisi Pemberantasan Kaorupsi). Adapun menurut lembaga antikorupsi internasional Transparency, korupsi didefinisikan sebagai the abuse of entrusted power for private gain ‘penyalahgunaan kekuasaan dipercayakan untuk keuntungan pribadi’. Menurut Transparency, korupsi dapat diklasifikasikan menjadi korupsi besar, korupsi kecil, atau korupsi politik, dan korupsi ini tergantung pada jumlah uang yang hilang dan di sektor mana korupsi terjadi (transparency.com).

Dari definisi tersebut, korupsi bisa disimpulkan sebagai sebuah tindakan yang merugikan. Jika dilihat dari perspektif hukum Indonesia, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan merumuskan korupsi ke dalam tiga puluh jenis tindak pidana korupsi (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2006). Berdasarkan undang-undang tersebut, korupsi didefinisikan sebagai setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Konsep Pelibatan Keluarga

Pelibatan keluarga yang dimaksud dalam konteks ini adalah pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan tersebut, pelibatan keluarga diartikan sebagai proses dan/atau cara keluarga untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai tujuan Pendidikan Nasional. Adapun Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan setidaknya mendukung penyelenggaraan pendidikan pada 3 elemen, yaitu Satuan Pendidikan di mana anak-anak mereka mengenyam pendidikan, Keluarga itu sendiri, dan Masyarakat di mana suatu keluarga tinggal. Ketiga elemen ini disebut juga sebagai Tri Sentra Pendidikan yang telah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara.

Berkaitan dengan pemberantasan dan pencegahan tindak korupsi, nilai-nilai antikorupsi bisa ditanamkan keluarga kepada anak-anak mereka dalam penerapannya pada Tri Sentra Pendidikan melalui berbagai strategi, gerakan, maupun aktivitas yang kegiatannya disesuaikan berdasarkan elemennya. Dengan penanaman nilai-nilai antikorupsi pada penerapan pelibatan keluarga ini, tujuan yang bisa dicapai tidak hanya tujuan dari Pendidikan Nasional sebagai tujuan akhir dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan, tetapi juga tujuan dari Indonesia yang bebas dari tindak pidana korupsi melalui pencegahan sejak dini.

Tentang Nilai-Nilai Antikorupsi

Dalam buku “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas” terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nilai-nilai antikorupsi disebut juga sebagai nilai-nilai integritas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, integritas memiliki arti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Kata integritas sendiri memiliki padanan kata ‘kejujuran’.

Lebih jauh lagi, nilai-nilai integritas yang dimaksud KPK merupakan padanan positif untuk antikorupsi (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012). Kata antikorupsi secara spesifik mengarah pada sikap yang melawan atau menentang tindakan korupsi. Anak-anak tentu belum memahami secara utuh maksud dari antikorupsi. Oleh karena itu, nilai-nilai antikorupsi ini disebut juga sebagai nilai-nilai integritas atau nilai-nilai kejujuran yang lebih mudah dipahami oleh anak.

Tentang Kearifan Lokal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, kearifan berarti ‘kebijaksanaan’, sedangkan lokal berarti ‘di suatu tempat’ atau ‘setempat’. Kebijaksaan yang dimaksud adalah kebijaksanaan manusia terhadap nilai-nilai atau gagasan-gagasan yang dianutnya. Adapun jika dihubungkan dengan kata lokal akan bermakna kebijaksanaan manusia terhadap nilai-nilai atau gagasan-gagasan setempat di mana manusia tersebut hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kearifan lokal dijelaskan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Dalam kaitannya dengan pelibatan keluarga dalam penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak, nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas tersebut bisa disesuaikan dan diklasifikasikan sesuai dengan kearifan lokal di suatu tempat. Penyesuaian yang dimaksud sama sekali tidak mengurangi konsep nilai-nilai antikorupsi yang ada dan juga tidak mengurangi konsep kearifan lokal di suatu tempat.

 

Bagian 2

Nilai-Nilai Antikorupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan sebuah buku berjudul “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas”. Seperti judulnya, buku ini merupakan buku panduan untuk penggunaan buku berjudul “Tunas Integritas” yang telah diterbitkan sebelumnya. Buku “Tunas Integritas” sendiri merupakan buku dongeng yang memuat nilai-nilai antikorupsi untuk anak-anak usia dini. Menurut Abraham Samad dalam pengantar buku (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012), diterbitkannya buku-buku ini merupakan salah satu upaya KPK melakukan pencegahan tindak pidana korupsi dalam menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 13 c yang berbunyi “Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.”

Dalam buku “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas”, nilai-nilai antikorupsi disebut juga sebagai nilai-nilai integritas. Nilai-nilai integritas yang dimaksud tersebut merupakan padanan positif untuk antikorupsi. Kata antikorupsi secara spesifik mengarah pada sikap yang melawan atau menentang tindakan korupsi. Anak-anak tentu belum memahami secara utuh maksud dari antikorupsi. Oleh karena itu, nilai-nilai antikorupsi ini disebut juga sebagai nilai-nilai integritas atau nilai-nilai kejujuran yang lebih mudah dipahami oleh anak.

Adapun nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas yang digagas oleh KPK dalam buku “Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas” dan buku “Tunas Integritas” terdiri dari sembilan 9 (sembilan) nilai. Sembilan nilai tersebut adalah Jujur, Peduli, Mandiri, Disiplin, Tanggung Jawab, Kerja Keras, Sederhana, Berani, Adil (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012).

Gambar 1 Nilai-Nilai Integritas Dalam Bentuk Diagram

Kesembilan nilai integritas yang digagas KPK ini sebenarnya sering dijumpai di berbagai aktivitas kehidupan, baik dalam lingkup kecil keluarga maupun lingkup yang lebih besar, yaitu masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat harus mulai untuk mengenali, memahami, serta menanamkan nilai-nilai integritas pada anak-anak mereka. Pemahaman keluarga terhadap nilai-nilai integritas ini nantinya akan membantu keluarga dalam mengonkretkan kesembilan nilai yang masih abstrak menjadi sesuatu yang mudah dipahami untuk anak-anak. Pada dasarnya, KPK meyakini bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi telah kehilangan satu atau lebih nilai-nilai integritas (Komisi Pemberantaasan Korupsi, 2012). Bisa jadi, penyebab dari hilangnya nilai-nilai tersebut karena nilai-nilai integritas yang dimiliki belum melekat pada akar jiwanya. Belum melekatnya nilai-nilai integritas pada akar jiwanya juga bisa disebabkan karena tidak adanya penanaman dan pembiasaan nilai-nilai tersebut sejak kecil. Oleh karena itu, keluarga diharapkan mampu untuk menanamkan serta membiasakan nilai-nilai integritas pada anak sejak dini.

Pelibatan Keluarga pada Tri Sentra Pendidikan Sebagai Sarana Penanaman Nilai-Nilai Antikorupsi Berbasis Kearifan Lokal

Setelah mengetahui, mengenali, dan memahami nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas, hal yang selanjutnya bisa dilakukan keluarga adalah menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak-anak. Pertanyaannya adalah di mana saja keluarga bisa menanamkan nilai-nilai integritas? dan hal-hal apa saja yang bisa dilakukan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai integritas tersebut?

Sebagaimana yang sudah dinyatakan pada bagian sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan. Dengan diterbitkannya peraturan ini, keluarga diharapkan untuk ikut terlibat pada penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan setidaknya mendukung penyelenggaraan pendidikan pada 3 elemen, yaitu Satuan Pendidikan di mana anak-anak mereka mengenyam pendidikan, Keluarga itu sendiri, dan Masyarakat di mana suatu keluarga tinggal.

Gambar 2 Tri Sentra Pendidikan

Dalam penerapannya, metode, cara, ataupun bentuk penanaman nilai-nilai integritas bisa disesuaikan berdasarkan ketiga elemen yang ada pada Tri Sentra Pendidikan, yaitu satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Hal lain yang perlu diingat dan diperhatikan adalah metode, cara, ataupun bentuk penanaman nilai-nilai integritasnya berbasis pada kearifan lokal. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan sebagai sarana penanaman nilai-nilai antikorupsi atau nilai-nilai integritas berbasis kearifan lokal akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

 

Pada Satuan Pendidikan

Satuan Pendidikan merupakan kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan kesetaraan (Kemdikbud, 2017). Artinya, apabila keluarga memiliki anak yang bersekolah di jenjang Taman Kanak-Kanak (TK), maka TK tersebut merupakan satuan pendidikannya. Begitu juga pada jenjang pendidikan lainnya.

Pada satuan pendidikan, keluarga tidak bisa terlibat secara langsung dalam penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak. Dalam hal ini, pihak sekolah memiliki tugas yang paling besar dibandingkan keluarga. Meskipun demikian, bukan berarti keluarga tidak memiliki peran. Keluarga tetap harus terlibat setidaknya pada kegiatan-kegiatan seperti menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan sekolah, menjadi anggota komite sekolah, mengikuti rapat wali kelas, ikut hadir dalam pementasan akhir tahun sebagai dukungan kepada sang anak. Selain itu, keluarga juga harus mengetahui aktivitas apa saja yang dilakukan oleh sang anak selama di sekolah. Tentu hal ini bukan untuk mengusik pilihan anak dalam berkegiatan, tetapi untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan sang anak di sekolah adalah kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat.

Pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan harus memahami dengan baik maksud dari tujuan penanaman nilai-nilai antikorupsi berbasis kearifan lokal. Jika sekolah hanya menerapkan sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai kurikuler, penanaman nilai-nilai antikorupsi akan sulit dilakukan karena ruang lingkupnya terbatas. Penanaman nilai-nilai antikorupsi ini bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang sifatnya ekstrakurikuler. Sebagian besar sekolah di Indonesia mungkin telah memiliki kegiatan ekstrakurikuler, permasalahannya adalah apakah setiap kegiatan ekstrakurikuler tersebut telah dipersiapkan dan dilaksanakan dengan baik?

Jika sekolah memikirkan dan mempersiapkan dengan baik, upaya-upaya berikut bisa dilakukan sekolah dalam menanamkan kesembilan nilai-nilai antikorupsi pada anak. Pertama, pada ranah kurikuler, sekolah melalui guru bisa menyisipkan nilai-nilai antikorupsi pada pelajaran sejarah. Sebagai contoh, guru bisa menceritakan perjuangan para pahlawan, khususnya pahlawan yang ada di daerah mereka dengan menekankan satu atau beberapa nilai-nilai antikorupsi yang dimiliki oleh pahlawan tersebut. Contoh lainnya, kegiatan bercerita atau mendongeng bisa dilakukan secara rutin sebagai mata pelajaran khusus pada jenjang pendidikan dari PAUD sampai Sekolah Dasar. Berbagai penelitian tentang dongeng sudah sangat banyak dilakukan dan memiliki dampak dan hasil yang sangat positif. Salah satu penelitian yang berkaitan dengan dongeng pernah dilakukan oleh Nurinten, Mulyani, Alhamuddin, dan Permatasari dalam penelitian yang berjudul “Kearifan Lokal Sebagai Media Pendidikan Karakter Antikorupsi pada Anak Usia Dini Melalui Strategi Dongkrak (Dongeng jeung Kaulinan Barudak)”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang strategi pendidikan karakter antikorupsi pada anak usia dini pada sekolah melalui dongeng-dongeng berbasis kearifan lokal Sunda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa strategi yang digunakan memiliki hasil yang baik dalam pemahaman nilai-nilai karakter oleh anak usia dini (Nurinten dkk., 2016). Oleh karena itu, kegiatan mendongeng atau bercerita ini merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak.

Kedua, pada ranah ekstrakurikuler, penanaman nilai-nilai antikorupsi bisa dilakukan melalui pemberdayaan keterampilan di berbagai bidang seperti pengetahuan budaya, kuliner, musik, permainan tradisional, dan bidang lainnya. Sebagai contoh, sekolah bisa mengadakan sebuah kegiatan ekstrakurikuler yang berfokus pada keterampilan tata boga untuk mengembangkan serta melestarikan kuliner daerah. Dari kegiatan ini, nilai-nilai antikorupsi seperti peduli terhadap warisan kuliner daerah, sikap kerja keras dalam memasak dan menyajikan kuliner daerah, dan sikap adil ketika membagikan hasil masakan mereka kepada orang-orang sekitar bisa ditanamkan kepada anak-anak. Contoh lainnya adalah dengan bermain permainan tradisional ketika jeda istirahat atau pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Dari permarmainan tradsional ini, nilai-nilai antikorupsi seperti jujur kepada teman-teman karena tidak bermain curang dan berani saat mengambil keputusan pada keadaan-keadaan tertentu saat melakukan permainan.

Kegiatan ataupun aktivitas yang dilakukan tersebut tentunya disesuaikan dengan kearifan lokal di mana sekolah itu berada. Para guru yang mendampingi mereka pun harus memahami dengan baik esensi dari penanaman nilai-nilai antikorupsi berbasis kearifan lokal agar mudah dalam penerapannya. Dengan demikian, nilai-nilai antikorupsi bisa selalu hadir di setiap suasana kegiatan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Pada Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil yang ada di dalam masyarakat. Setidaknya, sebuah keluarga terdiri dari suami, istri dan anaknya. Keluarga dianggap memiliki peran strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan (Kemdikbud, 2017). Oleh karena itu, segala hal yang diberikan keluarga pada anak-anak mereka sangat berpengaruh terhadap kehidupan sang anak di masa mendatang. Dalam penyelenggaraan pendidikan pada elemen keluarga, penanaman kesembilan nilai-nilai antikorupsi bisa dilakukan melalui upaya-upaya berikut ini.

Pertama, dukung proses belajar anak dengan mengurangi atau bahkan sama sekali membatasi anak untuk bermain gawai. Dukungan proses belajar yang dimaksud adalah dengan menciptakan suasana belajar untuk anak. Meskipun arti belajar bagi anak-anak adalah bermain, keluarga harus memberikan fasilitas bermain yang dapat mengedukasi anak untuk bisa mengembangkan potensi sang anak. Bangun kedekatan antara keluarga dengan anak. Jangan sampai kedekatan antara keduanya terhalangi oleh penggunaan gawai. Kedekataan antara keluarga dengan anak-anak adalah langkah awal untuk bisa menanamkan nilai-nilai antikorupsi dengan baik. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pembacaan buku sejak dini pada anak.

Kedua, aktivitas mendongeng atau bercerita adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan kesembilan nilai-nilai antikorupsi. Dongeng merupakan media pendidikan yang mengajarkan sesuatu tanpa menggurui (Mentari, 2017). Artinya, keluarga bisa menyisipkan salah satu atau lebih nilai-nilai antikorupsi melalui cerita yang didongengkan tanpa khawatir sang anak merasa digurui. Cerita-cerita yang didongengkan pun bisa menggunakan cerita daerah setempat sebagai wujud dari upaya kegiatan berbasis kearifan lokal. Upaya-upaya lainnya yang bisa diajarkan kepada anak sebagai bentuk penanaman nilai-nilai antikorupsi adalah mengajarkan anak untuk berbagi kepada sesama sebagai bentuk penanaman sikap peduli, mengajarkan anak untuk membersihkan dan merapikan kamar sendiri sebagai bentuk sikap mandiri, membiasakan anak untuk selalu bangun pagi sebagai bentuk sikap disiplin, dan berbagai aktivitas lainnya.

Ketiga¸ keluarga dapat memfasilitasi anak untuk bisa mengembangkan potensi diri. Sebagai contoh, anak-anak yang sering aktif bergerak difasilitasi untuk mempelajari tari-tari tradisional maupun kontemporer, dan anak-anak yang memiliki keahlian di bidang seni musik bisa diarahkan untuk mempelajari alat musik tradisional seperti angklung ataupun gamelan, dan di berbagai bidang lainnya. Pada akhirnya, anak-anak bisa mendapatkan nilai-nilai antikorupsi dari apa yang ditanamkan melalui kegiatan pengembangan potensi tersebut.

Kunci dari keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak adalah ikut terlibat.

Pada Masyarakat

Dalam menerapkan pelibatan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan sebagai sarana penanaman nilai-nilai antikorupsi pada lingkungan masyarkat, keluarga sebagai bagian dari masyarakat harus memberikan dan menciptakan suasana yang baik, positif, dan bermanfaat di lingkungan masyarakat mereka sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut, harus ada kerja sama di antara masing-masing keluarga sebagai bagian dari masyarakat, perlu ada kekompakan.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan keluarga di lingkungan masyarakat adalah sebagai berikut. Pertama, memberikan ruang bermain untuk anak-anak. Kedua, memberikan ruang literasi untuk anak-anak. Ketiga, menciptakan ruang masyarakat yang ramah untuk anak-anak. Upaya-upaya dalam menciptakan lingkungan yang baik ini bukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Dalam menciptakan ruang bermain untuk anak, Kampung Main Cipulir yang berada di daerah Jakarta Selatan bisa dijadikan sebagai contoh. Di sana, anak anak dapat melakukan kegiatan seperti membatik, membuat produk kerajinan dari tanah liat, menangkap ikan, bercocok tanam, outbound, flying fox dan kegiatan lainnya (kontan.co.id). Tentu saja setiap aktivitasnya dilakukan dengan konsep sambil bermain.

Dalam menciptakan ruang literasi untuk anak, ‘Kampung Baca’ yang terletak di kampung Pucangsari, Magelang bisa dijadikan sebagai contoh. Berangkat dari keresahan terhadap penggunaan gawai oleh anak-anak yang semakin meningkat, para ibu-ibu berinisiatif untuk membuat sebuah tempat bacaan agar aktivitas anak-anak mereka bisa lebih bermanfaat serta mendorong minat baca di lingkungan mereka. Berita terkait bisa dilihat pada tautan berikut ini.

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592.

Oleh karena itu, terbentuklah kampung baca di daerah mereka sebagai ruang literasi untuk anak-anak mereka.

Selanjutnya dalam menciptakan ruang masyarakat yang ramah untuk anak-anak, Kampung Ramah Anak yang ada di kampung Leles, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta bisa dijadikan sebagai contoh. Masyarakat di kampung Leles membuat berbagai perarturan seperti melarang penggunaan kendaraan bermotor setiap sore hari karena lingkungan mereka khusus digunakan sebagai area bermain anak-anak, membatasi penggunaan gawai sebelum berusia 18 tahun, menyediakan area bermain yang dilengkapi dengan permainan dan perpustakaan, dan mulai pukul 19.00 sampai pukul 21.00, orang tua tidak diperkenankan menggunakan gawai dan wajib menemani anak-anak mereka (kompas.com).

Kunci dalam menerapkan upaya-upaya tersebut adalah keinginan dan kekompakkan setiap keluarga untuk memberikan fasilitas terbaik dalam pertumbuhan anak-anak. Jika tercipta lingkungan masyarakat yang baik, positif, dan bermanfaat, maka dampak yang diberikan kepada anak-anak juga akan demikian. Sebagai bentuk kegiatan yang berbasis kearifan lokal, kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan nilai-nilai kehidupan setempat.

Pelibatan keluarga pada Tri Sentra Pendidikan sebagai sarana penanaman nilai-nilai antikorupsi berbasis kearifan lokal merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak pidana korupsi sedini mungkin. Nilai-nilai antikorupsi yang ditanamkan adalah nilai-nilai yang digagas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari sembilan nilai, yaitu Jujur, Peduli, Mandiri, Disiplin, Tanggung Jawab, Kerja Keras, Sederhana, Berani, dan Adil. Kesembilan nilai tersebut disebut juga sebagai nilai-nilai integritas.

Dalam penerapannya, keluarga dapat melakukan upaya-upaya pada 3 elemen yang terdapat pada Tri Sentra Pendidikan yang terdiri dari Satuan Pendidikan, Keluarga, dan Masyarakat. Dengan adanya sinergisitas antara pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan dan penanaman nilai-nilai antikorupsi, mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa akan lebih mudah diwujudkan.

 #sahabatkeluarga

REFERENSI

Gallets, Matthew P. 2005. Storytelling and Story Reading: A Comparison of Effects on Children. Tesis. Tennessee, School of Graduate Studies, East Tennessee State University. USA.

Hamilton, Marta dan Weiss, Mitch. 2005. Excerpt from Children Tell Stories: Teaching and Using Storytelling in the Classroom. Richard C. Owen Publisher. Katonah, New York.

Isbell, Rebecca dkk. 2004. “The Effects of Storytelling and Story Reading on the Oral Language Complexity and Story Comprehension of Young Children”. Dalam Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 3, hlm. 157-163.

Kaunang, Iva R.B., Kaghoo, Max Sudirno, dkk.. 2012. Menemukenali Kearifan Lokal dalam Kaitannya dengan Watak dan Karakter Bangsa di Minahasa Utara. Kepel Press. Yogyakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemdikbud RI. Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2017. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Kemdikbud RI. Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Tanpa Tahun. Pahami Dulu Baru Lawan: Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi. KPK. Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. KPK. Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2012. Agar Tunas Itu Tumbuh Berkembang: Panduan Penggunaan Seri Tunas Integritas. KPK. Jakarta.

Miller, Sara dan Pennycuff, Lisa. 2008. “The Power of Story: Using Storytelling to Improve Literacy Learning”. Dalam Journal of Cross-Disciplinary Perspectives in Education, Vol. 1, No. 1, hlm. 36-43.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Nurinten, Dinar., Mulyani, Dewi., dkk. 2016. “Kearifan Lokal Sebagai Media Pendidikan Karakter Antikorupsi pada Anak Usia Dini Melalui Strategi Dongkrak”. Dalam Integritas, Vol. 2, No. 1, hlm. 135-154.

Salam, Aprinus dan Sembodo, Thomas J P (editor). 2011. Menerapkan Kearifan Lokal dalam Pembangunan Berkelanjutan: Kumpulan Naskah Annual Essay Competition Terbaik 2010. Sub Direktorat PPKB UGM. Yogyakarta.

Tim Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. 2013. Kearifan Lokal. BPNB DIY. Yogyakarta.

Sumber Internet:

Kompas. Selamat Datang di Kampung Ramah Anak Wajib Senyum dan Tak Boleh sering HP. Diakses pada laman regional.kompas.com/read/2018/07/24/09352451/selamat-datang-di-kampung-ramah-anak-wajib-senyum-dan-tak-boleh-sering-main?page=all.

Kontan. Bermain Sambil Belajar di Kampung Tengah Kota. Diakses pada laman peluangusaha.kontan.co.id/news/
bermain-sambil-belajar-di-kampung-tengah-kota
.

Marlupi, Anna Sri. 2011. Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal. Diakses pada laman pangudiluhur.org
/berita/pendidikan-berbasis-kearifan-lokal-oleh-anna-sri
-marlupi-s-s.104.html
.

Mentari, Rona. 2017. Aksi Dongeng Dari Timur. Diakses pada laman youtube.com/watch?v=HpaIf2v1CeI.

Sahabat Keluarga Kemdikbud. Kampung Baca Inisiatif Para Ibu Dorong Minat Baca. Diakses pada laman https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592.

Transparency. Corruption Perceptions Index 2016. Diakses pada laman transparency.org/news/feature/corruption
perceptions_index_2016
.

Transparency. Corruption Perceptions Index 2017. Diakses pada laman transparency.org/news/feature/corruption
perceptions_index_2017
.

 

 

Sudah Saatnya Keluarga Zaman Now Terlibat dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Sumber : instagram.com/keluargabijak/

Berbagai tantangan dalam menyelenggarakan pendidikan, khususnya pendidikan anak di era masa kini perlu ditanggapi dengan serius. Dalam masa pertumbuhannya, anak-anak kita dihadapi dengan masa di mana arus perkembangan informasi dan teknologi berjalan begitu cepat. Dalam keadaan seperti ini, keluarga berperan penting untuk menjadi filter pertama dalam menerima informasi yang ada sebelum dikonsumsi oleh anak-anak. Jika tidak demikian, alih-alih mendapatkan dampak positif serta manfaat dari perkembangan teknologi dan informasi, anak-anak malah mendapatkan dampak negatifnya.

Dalam agama Islam, seseorang yang lahir ke dunia dianggap lahir dalam keadaan suci dan bersih, kullu maulūdin yūladu alal-fitrah. Orang tua merekalah yang menentukan akan seperti apa anak yang lahir itu tumbuh dan berkembang hingga dewasa nanti. Bagi para pembelajar, mungkin kenal dengan tokoh John Locke yang pernah mengungkapkan teori Tabula Rasa. Sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang dikatakan dalam Islam, Locke menganggap bahwa seseorang yang lahir ke dunia ini seperti kertas kosong. Pada intinya, apa yang ada di lingkungan terdekat dari seorang anak yang baru lahir ke dunia menjadi ‘penentuan awal’ akan seperti apa anak tersebut tumbuh berkembang.

Salah satu tantangan terbesar keluarga dalam mengahadapi masalah di masa kini adalah perkembangan teknologi dan informasi yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan internet. Ilmu pengetahuan yang dulunya hanya mudah didapatkan dari pendidikan di sekolah, saat ini bisa didapatkan dengan mudah dari internet. Sebagian besar media yang digunakan adalah gawai yang selanjutnya diikuti dengan penggunaan komputer. Fakta menariknya, pelajar menjadi pengguna terbesar internet di Indonesia. Bisa dibayangkan, jika penggunaan internet mereka tidak didampingi atau diawasi oleh keluarga, khususnya orang tua mereka, konten-konten negatif bisa mereka terima dan mereka temui kapan saja. Di sinilah keluarga harus ikut berperan dan terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan anak-anak mereka. Tujuannya, agar anak-anak mendapatkan pendidikan yang baik serta optimal, tentu saja dengan memanfaatkan kehadiran internet dalam proses pendidikannya. Oleh karena itu, orang tua harus bisa berlaku bijak dan tidak boleh udik dalam menerima perkembangan teknologi dan informasi saat ini.

Lalu, hal-hal apa saja yang bisa dilakukan keluarga zaman now untuk terlibat dalam penyelenggaran pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak mereka.

Sebelum itu, setiap keluarga harus tahu terlebih dahulu apa maksud dan tujuan dari pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan keluarga, sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan adalah proses dan/atau cara keluarga untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai tujuan Pendidikan Nasional. Adapun Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan setidaknya mendukung penyelenggaraan pendidikan pada 3 elemen, yaitu Satuan Pendidikan di mana anak-anak mereka mengenyam pendidikan, Keluarga itu sendiri, dan Masyarakat di mana suatu keluarga tinggal. Ketiga elemen tadi juga disebut sebagai Tri Sentra Pendidikan yang telah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara.

Selanjutnya, keluarga zaman now bisa melakukan hal-hal atau tindakan-tindakan berikut sebagai bentuk pelibatan pada satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.

  • PADA SATUAN PENDIDIKAN

Sumber : instagram.com/ind_mengajar/

Satuan Pendidikan merupakan kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan kesetaraan. Artinya, jika keluarga memiliki anak yang sedang bersekolah di jenjang pendidikan sekolah dasar, maka sekolah dasar merupakan satuan pendidikannya. Jika keluarga memiliki anak yang baru saja masuk di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), maka PAUD tersebut merupakan satuan pendidikannya. Begitu juga pada jenjang pendidikan yang lainnya. Adapun hal-hal yang bisa dilakukan keluarga zaman now pada Satuan Pendidikan adalah sebagai berikut.

  1. Keluarga Harus Ikut Terlibat

Anggapan yang telah dipikirkan dan dipahami oleh banyak keluarga sejak dulu adalah bahwa sekolah adalah tempat yang dipercaya untuk meningkatkan pendidikan, baik dalam pendidikan umum, maupun pendidikan karakter seorang anak. Kegiatan-kegiatan sekolah yang mengikutsertakan keluarga pun seringkali diabaikan. Pada akhirnya, keluarga tidak mau ikut campur dan menyerahkan segala bentuk pendidikan hanya kepada sekolah saja. Anggapan seperti ini tentu saja keliru. Keluarga zaman now harus mengubah pandangan tersebut dan mulai ikut terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan anak di sekolah. Misalnya dengan menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan sekolah, menjadi anggota komite sekolah, mengikuti rapat wali kelas, ikut hadir dalam pementasan akhir tahun sebagai dukungan kepada sang anak, menjadi narasumber apabila memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan dan acara yang diselenggarakan sekolah, dan berbagai kegiatan positid yang dapat melibatkan keluarga dengan sekolah.

  1. Memantau Kegiatan Sang Anak

Selain ikut terlibat di berbagai kegiatan positif yang diadakan sekolah, keluarga zaman now juga harus mengetahui aktivitas apa saja yang dilakukan oleh sang anak selama di sekolah. Tentu hal ini bukan untuk mengusik pilihan anak dalam berkegiatan, tetapi untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan sang anak di sekolah adalah kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat. Misalnya, jika keluarga memantau kegiatan sang anak dan mendapatinya kesulitan dalam memilih kegiatan kokurikuler ataupun ekstrakurikuler, keluarga bisa mengambil peran dengan memberikan saran dan masukan yang membangun untuk sang anak. Selain itu, memantau kegiatan sang anak di sekolah juga bertujuan untuk mencegah hal-hal seperti kekerasan, pornografi, pornoaksi, dan penyalahgunaan narkoba, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) tidak terjadi.

  • PADA SATUAN KELUARGA

Sumber : instagram.com/rumahdongengmentari/

Keluarga merupakan unit terkecil yang ada di dalam masyarakat. Setidaknya, sebuah keluarga terdiri dari suami istri dan anaknya. Hal-hal yang bisa dilakukan keluarga zaman now pada Satuan Keluarga misalnya sebagai berikut.

  1. Mendukung Proses Belajar Anak

Di masa perkembangan teknologi dan informasi yang cepat ini, keluarga zaman now bukan berarti harus menutup dari dari berbagai dampak yang diberikan. Sebaliknya, keluarga zaman now harus memanfaatkan fasilitas yang ada dengan sebaik-baiknya. Dalam mendukung proses belajar anak, fasilitas internet bisa digunakan sebagai sarana penunjang dalam memfasilitasi anak untuk belajar. Ingat, internet dijadikan sebagai sarana penunjang, bukan diajadikan rujukan utama dalam proses belajar anak. Misalnya, jika sang anak merasa kurang dalam sumber bacaan dan tidak menemukan di buku-buku yang ada, internet bisa digunakan untuk mengakses bacaan yang cukup banyak. Tentu saja keluarga perlu mendampingi anak saat menggunakan internet. Untuk melakukan itu semua, keluarga zaman now harus tahu apa saja kebutuhan anak dalam proses belajarnya, bukan malah acuh dan tidak memedulikannya. Selain itu, apabila sang anak mendapati hasil yang kurang memuaskan padahal telah menyiapkan berbagai hal dengan baik dalam prosesnya, keluarga zaman now tidak boleh memarahi dan menjelek-jelekkan sang anak. Sang anak justru harus didukung dan diberikan motivasi agar kepercayaan diri mereka tetap terjaga. Dengan demikian, komunikasi antara keluarga dan anak akan terjalin dengan baik.

  1. Menumbuhkan Nilai-Nilai Karakter Anak

Tujuan akhir dari pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter guna mencapai peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Karakter merupakan sesuatu yang melekat kuat pada diri seseorang, dan sesuatu yang melekat kuat pasti sudah ditanamkan sejak dini. Begitu pula dalam menumbuhkan karakter anak-anak, keluarga zaman now harus menanamkan nilai-nilai kebaikan sejak anak masih kecil. Penumbuhan karakter tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara membiasakan pembacaan buku kepada anak. Banyak keluarga sering berdalih bahwa anak-anak meraka masih kecil dan belum waktunya untuk belajar membaca. Padahal, manfaat dari kegiatan membacakan buku sejak dini bukan hanya bertujuan agar anak mampu membaca, lebih dari itu. Jika seorang anak telah terbiasa dengan buku-buku sejak kecil, maka kecintaan terhadap buku pun akan tumbuh. Hal inilah yang perlu dilakukan oleh keluarga zaman now. Berbagai cara seperti mendongengkan cerita kepada anak bisa digunakan.

Artikel tentang dongeng dalam konteks pendidikan nasional bisa dilihat di sini.

Kemudahan dari teknologi mungkin memudahkan keluarga mengakses berbagai informasi, seperti mencari cerita-cerita dongeng atau memberikan video animasi misalnya. Akan tetapi, keluarga zaman now harus sadar bahwa kemudahan itu bukan dipakai sebagai sarana utama dalam menumbuhkan karakter anak. Terlebih lagi, penelitian mengatakan bahwa media yang paling cocok dalam membantu perkembangan anak adalah buku bergambar. Buku-buku yang dibacakan kepada anak tentunya harus memuat nilai-nilai kebaikan dan disesuaikan sesuai dengan usia dan perkembangan anak. Dengan demikian, selain menumbuhkan kecintaan anak terhadap buku, tingkat bacaan dan literasi anak-anak di Indonesia akan meningkat. Logikanya, jika tingkat baca buku masyarakat di Indonesia tinggi, karakter serta kemampuan dalam mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat dan mencerdaskan kehidupan bangsa akan terpenuhi.

  • PADA SATUAN MASYARAKAT

Sumber : instagram.com/warungbacanelayan/

Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan pada satuan masyarakat sebenarnya sederhana, yaitu dengan membuat suasana positif di lingkungan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di ranah keluarga pun sebenarnya bisa diterapkan di lingkungan masyarakat, seperti yang dilakukan para ibu di kampong Pucangsari, Magelang dengan membuat ‘kampung baca’ di lingkungan masyarakat mereka. Artikel selengkapnya bisa dilihat pada laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id atau pada artikel berjudul “‘Kampung Baca’ Inistiatif Para Ibu Dorong Minat Baca” pada laman berikut.

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592

Para ibu di kampung tersebut berangkat dari keresahan terhadap penggunaan gawai oleh anak-anak yang semakin meningkat. Mereka kemudian berinisiatif untuk membuat sebuah tempat bacaan agar aktivitas anak-anak mereka bisa lebih bermanfaat serta mendorong minat baca di lingkungan mereka. Gerakan seperti ini seharusnya bisa dilakukan juga oleh keluarga zaman now di lingkungan masing-masing. Kuncinya adalah keinginan dan kekompakkan setiap keluarga yang ada dalam suatu masyarakat untuk memberikan fasilitas terbaik dalam pertumbuhan anak-anak di lingkungan mereka. Jika tercipta lingkungan masyarakat yang baik dan bermanfaat, maka dampak yang diberikan kepada anak-anak juga baik dan bermanfaat.

Dengan mewujudkan pelibatan keluarga pada 3 elemen yang terdapat di dalam Tri Sentra Pendidikan, cita-cita dari Pendidikan Nasional di Indonesia pun akan segera dicapai.

Selamat Hari Keluarga Nasional!

Aktifitas Kelas Mendongeng #3 . Dimulai dengan sesi talkshow tentang "Apa pentingnya orangtua mendongeng kepada anak?" Bersama Kak Arif (seorang ayah sekaligus guru, serta aktif mempopulerkan budaya bertutur), Kak Ella (seorang ibu yang senang sekali bercerita dengan boneka kesayangannya), dan Kak Edwi (sebagai asisten psikologi di Omah Perden). . Kemudian dilanjutkan sesi active class dan praktek mendongeng masing-masing kelompok. Seru sekali penampilan mendongeng dari ayah/ibu dan teman-teman volunteer ? . Terimakasih yaa! Sampai jumpa di Kelas Mendongeng #4 ? . Video ini dibuat oleh salah satu volunteer RDM: @alfialfiah terimakasih alfi! . #rumahdongengmentari #kelasmendongeng #3 #activeclass #storytellingclass #story #dongeng #eventjogja #storyteller #storytelling

A post shared by Rumah Dongeng Mentari (@rumahdongengmentari) on

Kelas Mendongeng oleh Rumah Dongeng Mentari

Salah satu kegiatan positif yang bisa diikuti oleh keluarga.

#sahabatkeluarga

 

Referensi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemdikbud RI.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2017. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kemdikbud RI.

Miller, Sara dan Pennycuff, Lisa. 2008. “The Power of Story: Using Storytelling to Improve Literacy Learning”. Dalam Journal of Cross-Disciplinary Perspectives in Education, Vol. 1, No. 1, hlm. 36-43.

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4592

Dongeng dalam Konteks Pendidikan Nasional: Pelibatan Keluarga Untuk Mendongeng dalam Membentuk Karakter Anak

Ekspresi Anak-Anak Saat Mendengarkan Dongeng. (Dokumentasi Pribadi)

Tanggal 20 Maret merupakan World Storytelling Day atau Hari Dongeng Sedunia. Pada hari ini, banyak masyarakat di dunia mengampanyekan kebiasaan bercerita dan mendengarkan cerita dongeng. Berkembangnya teknologi membuat budaya “bercerita secara lisan” ditinggalkan oleh banyak orang, khususnya para orang tua kepada anaknya. Hal inilah yang mendasari peringatan yang dulu disebut sebagai All Storytellers Day dikampanyekan di seluruh dunia. Dongeng telah menjadi bagian budaya oral di berbagai negara, tak hanya di Indonesia, negara-negara lain juga memiliki cerita-cerita rakyat yang baik dan menarik. Setidaknya, Indonesia harus berbangga karena memiliki berbagai cerita dongeng dan cerita rakyat yang tersebar  dari Sabang hingga Merauke.

Informasi tentang sejarah dongeng menjadi pembuka dalam tulisan ini. Sebelum dibahas lebih lanjut, saya secara pribadi ingin mengaitkan dongeng dengan kebijakan pemerintah yang belum lama ini dikeluarkan, yaitu kebijakan pemerintah tentang pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Salah satu langkah pemerintah dalam menyebarkan informasi ini adalah dengan meluncurkan laman web sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id. Di laman ini, kita bisa mendapatkan berbagai informasi menarik dan baik yang berkaitan dengan keluarga. Misalnya, informasi tentang ajakan Kemdikbud kepada sekolah-sekolah untuk lebih melibatkan orang tua yang bisa dilihat di artikel berjudul  “Kemdikbud Ajak Sekolah-Sekolah Lebih Melibatkan Orang Tua”  pada laman berikut.

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=1629

Kita lanjutkan pembahasannya.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah menetapkan peraturan tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan pada 30 Oktober 2017 lalu. Pelibatan ‘keluarga’ yang dimaksud adalah suatu proses/cara keluarga untuk berperan dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai Pendidikan Nasional. Adapun Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kaitannya dengan dongeng adalah bahwa salah satu manfaat dongeng adalah membentuk karakter seorang anak. Jadi, jika diurutkan dengan singkat dan sistematis, salah satu cara pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan untuk menciptakan karakter yang mencerdaskan bangsa adalah dengan dongeng. Selanjutnya, saya akan membahas hal ini secara lebih detail.

Sarana Pencapaian Pendidikan Nasional

Jika dilihat dalam konteks capaian Pendidikan Nasional, mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter seorang anak bisa ditanamkan melalui media dongeng. Menurut Rona Mentari sang Juru Dongeng Keliling yang saat ini sedang menempuh studi di International School of Storytelling, Emerson College, United Kingdom, dongeng merupakan media pendidikan yang mengajarkan sesuatu tanpa menggurui. Artinya, kita bisa menyisipkan pesan apapun melalui cerita yang didongengkan tanpa khawatir sang anak merasa digurui. Misalnya, cerita-cerita dongeng bisa disisipi 9 karakter anti korupsi, yaitu kesederhanaan, kegigihan, keberanian, kerja sama, kedisiplinan, keadilan, kejujuran, bertanggung jawab, dan kepedulian. Ternyata sifat-sifat atau karakter anti korupsi itu tidak hanya satu. Akan tetapi dalam praktiknya, cerita dongeng yang didongengkan kepada anak tak harus memiliki kesembilan karakter tadi. Hal inilah yang dilakukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menerbitkan buku serial dongeng anti korupsi yang masing-masing judul setidaknya disisipi satu karakter anti korupsi. Buku ini bisa kita dapatkan secara gratis, loh.

Selain manfaat dongeng yang ‘mengajarkan sesuatu tanpa menggurui’, Hamilton (2005) dalam karyanya yang berjudul The Power of Storytelling in the Classroom menjelaskan bahwa dongeng dapat meningkatkan daya imajinasi dan visualisasi seorang anak. Hamilton tidak hanya sekadar menyimpulkan pernyataan tersebut tanpa melakukan penelitian. Jadi, seandainya ada orang tua yang melarang anaknya untuk membaca buku-buku dongeng atau buku-buku fiksi, maka tindakan tersebut kurang tepat untuk dilakukan oleh orang tua. Pada kenyataannya, buku-buku fiksi sama-sama memiliki nuansa imajinasi yang bagus layaknya dongeng. Seorang ilmuwan terkenal yang tentunya kita semua tahu, yaitu Albert Einstein juga pernah berkata “Imagination is more important than knowledge” ‘Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan’. Bisa kita bayangkan, pengetahuan dan imajinasi yang hebat dari Albert Einstein pada akhirnya dapat menemukan teori relativitas yang kita kenal saat ini. Manfaat lain dari dongeng adalah meningkatkan minat baca anak (Haven dan Ducey dalam Miller dan Pennycuff, 2008). Salah satu fenomena yang saya khawatiri saat ini adalah para orang tua yang berbondong-bondong mengantarkan anak-anak mungil mereka ke tempat les membaca. Ada yang salah? Asumsi saya, lembaga-lembaga ataupun tempat les membaca anak pada akhirnya hanya memaksa anak-anak untuk bisa membaca, bukan suka membaca. Setidaknya, fenomena inilah yang saya temui di lingkungan tempat tinggal. Beberapa kali saya mencoba akrab dengan anak-anak dan bertanya di rumah suka baca buku, nggak? Jawabannya mengerucut pada satu hal, yaitu tidak. Pendidikan sendiri merupakan suatu proses mencari ilmu pengetahuan. Bagaimana mungkin seseorang dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang baik tanpa membaca? Masalahnya, mungkin banyak anak-anak yang telah mampu membaca, tetapi kalau mereka tidak suka membaca? Tentu belum cukup jika mereka hanya mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru-guru mereka. Inilah mengapa anak-anak di Indonesia belum gemar membaca.

Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, salah satu manfaat dongeng adalah meningkatkan minat baca anak. Tentunya hal ini tidak bisa terjadi begitu saja. Orang tua harus terlibat sejak awal. Caranya adalah dengan membacakan dan mendongengkan cerita kepada anak sejak dini, bahkan sebelum mereka bisa membaca. Biasakan buku-buku ada di dekat mereka sejak kecil agar mereka terbiasa dengan hal tersebut. Denga begitu, anak-anak tak hanya mampu membaca, tetapi juga punya kecintaan untuk membaca buku.

Hari Dongeng Sedunia ini harus dimanfaatkan sebagai momen penggerak oleh seluruh masyarakat, pendidik, maupun pemerintah untuk memopulerkan kembali kebiasaan mendongeng. Para orang tua, secara lebih khusus, harus mulai sadar dan mulai meluangkan waktu untuk menceritakan dan membacakan cerita dongeng kepada anak-anak mereka. Tentu menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua masa kini agar bisa menceritakan dan membacakan dongeng di tengah-tengah kesibukan kerja dan arus informasi dan teknologi yang semakin cepat. Berbagai alasan seperti lelah, tak punya waktu, hingga tak percaya diri ketika mendongeng harus mulai dihilangkan. Pada dasarnya, orang tua tidak harus bercerita layaknya seorang pendongeng profesional. Mendongeng itu mudah, sederhana, dan menyenangkan, begitulah kata Kak Aio sapaan akrab Ariyo Zidni yang telah mendongeng di berbagai kota Indonesia.

Satu hal lagi, sesuai dengan tema penulisan kali ini, yaitu “Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian”, para orang tua tidak boleh mengambil jalan pintas dalam mendidik anak-anak mereka. Saat ini, gawai banyak dijadikan sebagai jalan pintas para orang tua agar anak-anak mereka menjadi anteng dan tidak merengek. Betapa pun gawai bisa dijadikan sarana dalam memberikan manfaat kehidupan, buku tetap menjadi hal yang paling penting dalam mendidik anak. Logikanya, kalau sedari kecil anak-anak terbiasa dengan gawai, maka saat tumbuh dewasa pun mereka akan terbiasa menggunakan gawai tersebut. Jika para orang tua membiasakan anak-anak mereka dengan buku sejak kecil, anak-anak tak hanya mencintai buku, tetapi ada kedekatan yang terbangun antara orang tua dan anak-anak mereka.

Latar Belakang Pendidikan Orang Tua Bukan Hal yang Lebih Penting dalam Mendidik Anak

Kebiasaan orang tua mendongengkan cerita kepada anak merupakan salah satu cara jangka panjang untuk pencapaian Pendidikan Nasional. Pemerintah pun harus sadar bahwa untuk meningkatkan kegemaran membaca anak di Indonesia harus dipersiapkan dari hal yang paling dasar. Mungkin kita sering mendengar anggapan seperti ini, “mereka keluarga mampu, orang tuanya berpendidikan, pasti anak-anak mereka juga akan berpendidikan”, “mereka keluarga mampu, mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah favorit”, atau “kita hanya keluarga miskin, anak-anak kami tak akan bisa lebih pintar dari mereka” dan anggapan-anggapan serupa lainnya. Anggapan-anggapan tersebut sebenarnya keliru, untuk meningkatkan minat baca anak, latar belakang pendidikan orang tua bukanlah hal yang paling menentukan minat baca seorang anak. Hal yang lebih penting dari latang belakang pendidikan orang tua dalam meningkatkan minat baca anak adalah kegiatan mendongeng ataupun membacakan buku kepada anak.

The Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research menyatakan hasil penelitian mereka bahwa membacakan buku kepada anak setiap hari akan memperbaiki hasil sekolah mereka, terlepas dari latar belakang keluarga dan lingkungan rumah. Hasil penelitian The OECD Program for International Student Assessment juga menunjukkan korelasi yang kuat antara pembacaan buku orang tua dan kegiatan mendongeng kepada anak usia dini dengan prestasi membaca anak pada usia 15 tahun. Dr. Alice Sullivan dan Matt Brown, peneliti kebangsaan Inggris yang meneliti 6.000 anak-anak yang berpartisipasi dalam British Cohort Study pada tahun 1970 mengatakan bahwa kesenangan membaca lebih penting bagi perkembangan kognitif anak daripada tingkat pendidikan orang tua mereka. Dengan kesimpulan-kesimpulan para ahli tersebut, seharusnya kita mulai sadar bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh cara mendidik orang tua kepada anaknya, dan kegiatan membacakan buku serta mendongengkan cerita kepada anak adalah cara yang sangat baik. Bukankah mendongeng tidak memerlukan biaya yang mahal? Bukankah membacakan buku kepada anak bukanlah hal yang susah? Lantas, harus bagaimana lagi agar para orang tua ikut terlibat dalam pendidikan yang baik untuk anak-anak mereka?

Pada akhirnya, dongeng adalah salah satu media yang efektif untuk menceritakan dan membacakan cerita kepada anak agar anak-anak mulai terbiasa membaca sejak kecil. Dengan membiasakan aktivitas ini, apa pun latar belakang keluarganya, keluarga telah berperan dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai Pendidikan Nasional di Indonesia. Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan seorang psikolong anak, Devi Raissa,

“Media (termasuk dongeng) hanya menjadi jembatan saja, yang paling penting adalah keterlibatan orang tua di dalamnya.”

Sampai jumpa di Indonesia yang lebih baik!

Video Inspirasi Dongeng dari Rona Mentari

Juru Dongeng Keliling dan Pendiri Rumah Dongeng Mentari

#sahabatkeluarga

Oleh : Allam Herlambang – Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

Referensi

Gallets, Matthew P. 2005. Storytelling and Story Reading: A Comparison of Effects on Children. Tesis. Tennessee, USA: School of Graduate Studies, East Tennessee State University.

Hamilton, Marta dan Weiss, Mitch. 2005. Excerpt from Children Tell Stories: Teaching and Using Storytelling in the Classroom. Katonah, New York: Richard C. Owen Publisher.

Isbell, Rebecca dkk. 2004. “The Effects of Storytelling and Story Reading on the Oral Language Complexity and Story Comprehension of Young Children”. Dalam Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 3, hlm. 157-163.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemdikbud RI.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2017. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kemdikbud RI.

Miller, Sara dan Pennycuff, Lisa. 2008. “The Power of Story: Using Storytelling to Improve Literacy Learning”. Dalam Journal of Cross-Disciplinary Perspectives in Education, Vol. 1, No. 1, hlm. 36-43.

pujian – celaan

bagaimana mungkin kita bisa begitu bangga terhadap pujian yang menghampiri, padahal tak ada sedikit pun pernyataan yang sama dengan apa yang ada dalam diri.

bagaimana mungkin kita bisa begitu marah terhadap celaan yang menghampiri jikalau tak ada sedikit pun pernyataan yang sama dengan apa yang ada dalam diri.

renjana

ada yang ku pilih dengan yakin, menganggap bahwa itu yang terbaik. setelah mulai melakukannya, justru pelarian yang dilakukan.

ada yang ku pilih dengan ragu, bertanya apakah ini sudah tepat atau malah membebani. setelah mulai melakukannya, aku seperti lupa bahwa pernah ada keraguan yang mendampingi pilihan tersebut.

ukuran keikhlasan dalam melakukan sesuatu memang sulit dihitung. padahal sudah yakin, tetapi malah terbebani. padahal ada keraguan, tetapi tak sedikit pun merasa terbebani.

setelah bertanya dengan diri sendiri, ternyata renjana adalah jawaban yang harus selalu hadir setiap kali menentukan pilihan.

Copyright © 2025 semesta.allam

Theme by Anders NorenUp ↑