“tapi, mas. apakah mas merasa bahagia dengan kehidupan seperti ini?”

“yaa sebenernya terpaksa (bahagia yang terpaksa). sekarang susah cari kerja, mas, nggak kayak dulu.”

begitulah salah satu pertanyaan yang aku tanyakan kepada salah seorang pekerja di dalam bus transjakarta.

obrolan kami dimulai ketika busway yang kami tumpangi tepat berada di depan lampu lalu lintas. salah satu ruas jalan ibu kota yang kami lewati sangat macet. seluruh kendaraan dari 4 arah tak ingin mengalah, semua ingin cepat sampai rumah. sambil berganti ganti topangan kaki, kami mulai berbincang lebih jauh, khususnya tentang kemacetan di depan mata. sudah hampir dua jam aku berdiri. waktu yang biasanya bisa ditempuh setengah jam, kini harus lebih bersabar menambah waktu berdiri.

salah satu dilema penumpang laki laki di transportasi umum, baik krl maupun busway adalah serba mengalah. saat ini, kursi bagian depan busway dikhususkan untuk perempuan, sama halnya dengan krl yang mengkhususkan gerbong pertama dan terakhir untuk perempuan. jadi, para penumpang laki laki tidak bisa menempati kursi ataupun gerbang khusus tersebut. tentunya, kursi ataupun gerbong khusus tidak mampu menampung semua penumpang perempuan, para penumpang perempuan yang lain mau tidak mau harus ikut berbaur di gerbong umum.

dilema dimulai di sini. meskipun gerbong umum, penumpang laki laki harus memahami bahwa ada peraturan yang tak tertulis “prioritaskan penumpang perempuan” setelah peraturan tertulis “prioritaskan lansia, difabel, ibu hamil, dan ibu yang membawa bayi/anak kecil”.

secara singkat, aku menganggapnya “di gerbong perempuan salah, di gerbong umum mengalah”.

meskipun begitu, aku sangat suka dan senang karena banyak sekali penumpang yang sadar dan memberikan kenyamanannya untuk orang lain.

aku sendiri lebih memilih berdiri meskipun ada tempat duduk yang kosong, kecuali jika tempat duduknya banyak yang kosong.

kalau dilihat jauh lebih dalam, sebenarnya bukan tentang siapa yang lebih diprioritaskan dan siapa yang tidak. namun, ini tentang rasa peduli, empati, dan ego diri yang masih tumbuh baik di dalam setiap hati manusia yang katanya sudah tak suci.